Seminar Perlindungan Hukum dan HAM terhadap anak korban eksploitasi seks komersial di Kabupaten Sambas. |
SAMBAS – Berdasarkan data yang terhimpun di Pusat Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak atau P2TP2A Kabupaten Sambas, kasus pemerkosaan dan pencabulan yang terjadi pada anak setiap tahunnya meningkat. Hal itu ditegaskan wakil Bupati (Wabup) Sambas, Pabali Musa, pada saat membuka kegiatan Seminar Perlindungan Hukum dan HAM terhadap Anak Korban Eksploitasi Seks Komersial di Kabupaten Sambas di Kota Sambas, Kamis (24/4) lalu.
Tahun 2011, disebutkan Wabup, terdapat 35 kasus, kemudian tahun 2012 (43 kasus), dan tahun 2013, 42 kasus. Sedangkan untuk tahun 2014 dituturkan Pabali, dari Januari hingga April ini, menurut data di UPPA Polres Sambas, kasus persetubuhan terhadap anak di bawah umur terdapat 14 korban dengan pelaku sebanyak 23 orang.
“Bila masalah pelecehan seksual ini lambat ditanggulangi akan menjerat anak pada kasus eksploitasi seksual komersial, yang dapat mengakibatkan dampak-dampak yang serius terhadap anak, bahkan mengancam nyawa perkembangan fisik, psikologis, spiritual, emosional, dan sosial serta kesejahteraan seorang anak,” ujar Pabali. Menurutnya, ada beberapa faktor penyebab meningkatnya pelecehan seksual terhadap anak. Di antaranya, disebutkan dia, permintaan terhadap seks anak yang memicu terjadinya perdagangan seks anak secara global. Kemudian, faktor-faktor lainnya, dipaparkan dia, kemiskinan, diskriminasi, serta keinginan untuk memiliki sebuah kehidupan yang lebih baik membuat anak-anak menjadi rentan terhadap eksploitasi seks komersial anak.
Anak-anak, diakui Wabup, sangat rentan untuk diperdagangkan dengan tujuan seks, karena tingkat pendidikan mereka kurang, sehingga lebih mudah dimanfaatkan dan lari dari situasi keluarga yang bermasalah, dan bisa dijual atau pergi ke luar negeri untuk mendapatkan pekerjaan. “Eksploitasi seksual komersial anak merupakan sebuah pelanggaran serius dan mendasar terhadap hak-hak anak yang melibatkan kekerasan seksual oleh orang dewasa dan anak, dengan pemberian imbalan dalam bentuk uang tunai atau barang terhadap anak,” sebut Pabali.
Selain itu, perlakuan eksploitasi secara seksual dan komersial terhadap anak-anak, menurutnya juga sangat berisiko terhadap terjangkitnya HIV AIDS. Wabup meminta, hal ini menjadi perhatian seluruh komponen, mulai dari pemerintah, pemangku kepentingan, aparat penegak hukum, hingga komponen masyarakat lainnya. Karena permasalahan ini, menurut Pabali, menentukan pembangunan generasi muda dan masa depan bangsa ini.
Sementara itu, kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan KB Kabupaten Sambas, Wahidah, memandang penyebab anak terjerat eksploitasi seks komersial anak di antaranya terjebak rayuan dari pacar, kondisi ekonomi, dan gaya hidup hedonisme atau pandangan yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup, hingga salah pergaulan dalam lingkungan sekitarnya. “Masalah ketidakharmonisan dalam keluarga juga memberikan kontribusi besar terhadap meningkatnya angka eksploitasi seks komersial anak,” tutur Wahidah.
Data kasus perceraian dari unit kerja yang berkompeten, sebut dia, dari tahun ke tahun juga terus meningkat. Tahun 2011, dipaparkan dia, cerai talak mencapai 122 kasus, cerai gugat (621 kasus), kemudian di tahun 2012, cerai talak (132 kasus), cerai gugat (647 kasus), dan tahun 2013, cerai talak mencapai 128 kasus, dan cerat gugat ada di kisaran 687 kasus. Selain itu, kata Wahidah, ada penyebab lain seperti pernikahan dini, ancaman, dan tekanan dari pihak lain hingga perkosaan.
Modus operandi eksploitasi seks komersial anak (ESKA) di Kabupaten Sambas yang pernah dilakukan penelitian pada tahun 2009, dipaparkan Wahidah, seperti banci, pacar atau suami dari mereka mempunyai peran yang cukup besar untuk menjadi broker atau perantara dalam bisnis ESKA, mereka umumnya mengantar korban ketempat hiburan, kafe, dan hotel-hotel, hingga kasus menunggu atau mangkal di seputar tempat hiburan dan hotel sampai larut malam. Modus lainnya, sebut dia, pemilik tempat hiburan dan kafe sudah mengetahui dan kenal terhadap para korban, sehingga supervisor atau germo sudah siap untuk menjadi perantara dalam transaksi dengan para korban. “Alasan anak terjerat kasus ESKA karena untuk meningkatkan ekonomi keluarga sebanyak 68 persen, mengikuti gaya hidup kota sebanyak 28 persen dan ada juga anak akibat perkawinan dini sebanyak empat persen,” tutur Wahidah.
Anak korban ESKA tersebut, menurutnya, berusia sekitar 13 – 18 tahun. Anak yang berusia 13 – 14 tahun, ungkap dia, mencapai 10 persen, kemudian 15 – 16 tahun (30 persen), serta 17 – 18 tahun, 60 persen. Diterangkan dia, Pemerintah Kabupaten Sambas sebenarnya sudah sejak lama mengantisipasi permasalahan ini. Hal tersebut, menurutnya, dibuktikan dengan dikeluarkannya regulasi berupa Peraturan Daerah Kabupaten Sambas Nomor 3 tahun 2004 tentang Larangan Pelacuran dan Pornografi. “Kabupaten Sambas juga telah memiliki P2TP2A sebagai salah satu bentuk wahana pelayanan terpadudalam upaya pemenuhan kebutuhan perlindungan perempuan dan anak dari korban kekerasan dan perdagangan orang atau traficking yang memiliki sekretariat di Badan Pemberdayaan Perempuan dan KB Kab Sambas,” jelas dia. Daerah ini ditegaskan dia, sudah memiliki gugus tugas traficking dengan tujuan memberikan pencegahan dan perlindungan perempuan dan anak dari praktik perdagangan orang. (Har)
sumber : http://www.pontianakpost.com/
0 komentar:
Posting Komentar